Kisah Hari Sabtu, kisah ini diberitakan dalam Al-Qur’an surat Al-A’raf ayat 163-169.

Ayat ini menceritakan tentang sebuah desa orang-orang Yahudi yang terletak di pesisir lautan, yaitu sebuah desa pesisir di antara desa-desa yang mereka diami.

Orang-orang Yahudi setempat telah diperintahkan Allah untuk tidak berburu dan menangkap ikan pada hari Sabtu dan mereka dibolehkan menangkapnya pada hari-hari lain dalam sepekan.

Allah telah menguji mereka dengan kewajiban ini, dimana ikan-ikan itu menjauhi mereka dan jarang ditemui pada hari-hari dibolehkannya menangkap ikan, sementara pada hari Sabtu ikan-ikan itu justru banyak mendatangi mereka dengan terapung-apung di sekitar mereka.

Setan pun membisiki hati sekelompok orang dari penduduk desa dan membujuk mereka untuk menangkap ikan. Akan tetapi, bagaimana caranya agar mereka dapat mengelak dari perintah Allah tersebut? Setan menunjukkan alibi, cara tipu daya, serta membimbing mereka kiat agar dapat menangkap ikan pada hari sabtu.

Penduduk desa itu terbagi menjadi dua kelompok dalam menghadapi kelompok yang melanggar batas tersebut. Kelompok pertama adalah orang-orang shaleh dari para da’i yang menjalankan kewajiban mereka dalam dakwah dan memprotes orang-orang yang mengakali perintah-perintah Allah dengan berbagai alibi, pelanggaran, dan perburuan mereka pada hari Sabtu.

Kelompok kedua adalah orang-orang yang berdiam diri, yang diam melihat pelanggaran orang-orang yang melampaui batas, dan mereka justru melontarkan celaan dan penentangan terhadap orang-orang shaleh yang berdakwah, dengan alasan bahwa tidak ada manfaatnya menasehati dan memperingatkan sekelompok orang yang memang sudah sepantasnya binasa dan akan mendapat azab.

Orang-orang yang shaleh itu menjelaskan kepada orang-orang yang mencela mereka dan mendiamkan kemungkaran itu bahwa mereka memprotes kemungkaran itu dengan tujuan untuk melepaskan tanggung jawab di hadapan Allah dan demi menunaikan kewajiban serta agar kiranya mereka mau bertakwa.

Ketika azab Allah menimpa orang-orang yang melampaui batas itu maka Allah mengubah wujud mereka menjadi monyet-monyet hina. Perubahan bentuk wujud ini memang terjadi sesungguhnya. Tidak lama setelah berubah wujud menjadi monyet yang tidak mempunyai keturunan, mereka akhirnya mati.

Allah menyelamatkan orang-orang shaleh para da’i itu. Sementara itu, Al-Qur’an tidak menjelaskan nasib orang-orang yang diam, barangkali karena mereka tidak berarti dan hina di mata Allah. Karena mereka tidak disebutkan bersama orang-orang yang selamat maka tampaknya mereka termasuk orang-orang yang binasa dan terkutuk.

لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِّأُوْلِي الأَلْبَابِ مَا كَانَ حَدِيثًا يُفْتَرَى وَلَـكِن تَصْدِيقَ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفْصِيلَ كُلَّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً لِّقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ�

Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. (QS. Yusuf {12}: 111)

Beberapa pelajaran penting dalam kisah ini:

1. Desa Yahudi itu merupakan sebuah contoh desa atau kota dalam corak sikap penduduknya terhadap perintah-perintah Allah, dimana mereka terbagi dalam beberapa golongan dalam menyikapinya. Sekelompok orang diantara mereka melanggar perintah Allah, sekelompok orang menegur dan menghadapinya, dan sekelompok lain bersikap diam dan berpangku tangan dari melakukan aksi kontra dan memberikan nasehat.

2. Sesungguhnya Allah mencoba manusia dan menguji mereka dengan beban kewajiban. Di antara mereka ada yang berjihad melawan hawa nafsunya sendiri sehingga dapat mematuhi dan berhasil, dan diantara mereka ada yang mengikuti hawa nafsunya sehingga melanggar atau melampaui batas dan dia gagal dalam ujian iman tersebut.

3. Ikan-ikan yang datang untuk menghampiri dan menggoda para penduduk desa adalah tentara Allah. Allah telah memerintahkan ikan-ikan itu untuk mendekati mereka pada hari Sabtu dan menjauhi mereka pada hari-hari lainnya, maka ikan-ikan itupun mematuhi dan melaksanakan perintah tersebut. Tidak ada yang mengetahui tentara-tentara Rabb-mu kecuali Dia Yang Maha Suci.

4. Aksi memprotes kemungkaran yang dilakukan oleh para da’i, merupakan bukti yang menunjukkan kekuatan iman dalam hati mereka, adanya semangat dan kepedulian terhadap hukum-hukum Allah, adanya keprihatinan dan kecintaan memberikan kebaikan kepada orang lain (supaya mereka selamat dari azab Allah).

5. Dalam kehidupan ini terdapat individu umat yang merasa cukup dengan sikap kontra yang pasif dan lebih memilih sikap pasif, isolasi, dan eksklusif serta lari dari kancah perjuangan memberi nasehat, dakwah, dan peringatan.

6. Orang-orang yang pasif itu tidak cukup hanya berdiam diri dan berpangku tangan dari memprotes kemungkaran, tetapi justru melakukan kejahatan lain, yaitu melontarkan cercaan (celaan) dan sinis kepada orang-orang mukmin karena mereka melakukan dakwah dan menyampaikan kebenaran.

7. Ketika turun azab, tidak ada jalan untuk selamat kecuali bagi orang yang menjalankan kewajibannya dalam dakwah kepada Allah, yaitu merupakan satu-satunya bahtera keselamatan. Hal ini merupakan sunatullah untuk membalas orang yang berbuat kebaikan dengan kebaikan pula.

8. Orang-orang yang mendiamkan kebenaran, berhak mendapatkan pengabaian, mereka pantas dilalaikan dan dilupakan karena hinanya mereka di sisi Allah dan manusia.

فَلَوْلاَ كَانَ مِنَ الْقُرُونِ مِن قَبْلِكُمْ أُوْلُواْ بَقِيَّةٍ يَنْهَوْنَ عَنِ الْفَسَادِ فِي الأَرْضِ إِلاَّ قَلِيلاً مِّمَّنْ أَنجَيْنَا مِنْهُمْ وَاتَّبَعَ الَّذِينَ ظَلَمُواْ مَا أُتْرِفُواْ فِيهِ وَكَانُواْ مُجْرِمِينَ
وَمَا كَانَ رَبُّكَ لِيُهْلِكَ الْقُرَى بِظُلْمٍ وَأَهْلُهَا مُصْلِحُونَ

Maka mengapa tidak ada dari umat-umat yang sebelum kamu orang-orang yang mempunyai keutamaan yang melarang daripada (mengerjakan) kerusakan di muka bumi, kecuali sebahagian kecil di antara orang-orang yang telah Kami selamatkan di antara mereka, dan orang-orang yang zalim hanya mementingkan kenikmatan yang mewah yang ada pada mereka, dan mereka adalah orang-orang yang berdosa.
Dan Tuhanmu sekali-kali tidak akan membinasakan negeri-negeri secara zalim, sedang penduduknya orang-orang yang berbuat kebaikan.
(QS. Huud {11}: 116-117)

Diambil dari:
Kisah-Kisah Al-Qur’an – Pelajaran dari Orang-Orang Dahulu, halaman 266 dst.
karya Dr. Shalah Al-Khalidy
Terbitan GEMA INSANI PRESS, Jakarta 1999.